Negeri ini telah meraih kemerdekaannya 71 tahun
silam. Namun, kemerdekaan itu tidak serta merta didapatkan begitu saja. Perjuangan
dan pengorbanan yang berupa nyawa, darah, keringat dan air mata telah
dicurahkan demi meraih kemerdekaan yang hakiki. Namun, untuk siapa sejatinya
kemerdekaan tersebut? Semua itu untuk kita semua, bangsa Indonesia.
Namun, kita yang hidup di jaman ini seakan menutup
mata. Kita melupakan orang-orang yang telah berjuang merebut kemerdekaan ini
dari tangan para penjajah. Padahal tanpa mereka, kita tidak mungkin bisa hidup
seperti sekarang ini. Namun, tak sedikit para pejuang yang hidup terlunta-lunta
dan menderita di masa tuanya. Sementara, kita hanya sibuk dengan urusan kita
sendiri tanpa mempedulikan apa yang terjadi pada mereka. Mana balas budi kita
atas jasa yang telah mereka lakukan untuk kita dan negeri ini?
Mengingat jasa para pahlawan tak cukup hanya dengan merayakan
hari kemerdekaan dengan upacara bendera dan mengadakan berbagai perlombaan. Tapi,
kita doakan mereka yang telah gugur di medan perang dan kita topang
kehidupannya bagi yang masih hidup. Jangan biarkan para pejuang yang masih
hidup harus hidup menderita dan terlunta-lunta di masa tuanya. Hal ini dialami
oleh salah satu pejuang kemerdekaan yang di masa tuanya sampai harus menjadi
seorang pengemis untuk membiayai hidupnya sendiri. Berikut kisah pahit getir
kehidupannya.
Letnan Anwar, mantan pejuang yang menjadi seorang pengemis di masa tuanya |
Anwar, Komandan Kompi 3 Sumatera Bagian Selatan,
dengan pangkat Letnan Satu.
Pemimpin yang mahir empat bahasa. Dia fasih
berbicara bahasa Inggris, Jepang, Belanda dan tentu saja bahasa Indonesia. Akan
tetapi, kerasnya hidup menyeret Anwar, ke lumbung kemiskinan. Sang letnan
tiarap pada kehidupan.
“Tak perlu. Jangan disebut lagi masa lalu. Itu sudah
habis. Jangan dikenang lagi,” tutur Anwar kala itu saat dia masih hidup.
Anwar betul-betul keras. Sulit memintanya bicara
banyak. “Saya sedang berusaha. Jangan diganggu. Ini belum makan, lihat itu,
belum berisi,” ucap Anwar menunjuk ember biru yang ada di depannya. Ember itu
sengaja disediakan, untuk orang melempar uang sebagai wujud dari rasa iba
terhadapnya. Seolah, perkataan Anwar sebuah isyarat : Kalau mau bicara, isi
ember itu. Hampir setegah jam hirau, Anwar akhirnya menyerah. Dia mau bicara.
Tentang hidupnya. “Tapi jangan diputarbalik apa yang saya katakan,” ucap Anwar
yang pernah juga bekerja sebagai kelasi kapal berbendera Jerman Barat.
Tanah Kuranji adalah tempat pertama yang menyambut
kelahiran Anwar. Dia terlahir dari keluarga petani, 95 tahun lalu. Masa mudanya
dihabiskan di pinggiran Kota Padang itu. Anwar adalah jebolah Sekolah Sembilan
(kini Belakang Tangsi-red) tahun 1930. Lepas Sekolah Rakyat, Anwar mulai
bekerja serabutan. Akhirnya dia diterima sebagai kelasi kapal. Tahun 1932
sampai 1939 Anwar berlayar. Dalam kurun waktu itu tak sedikit keragaman budaya
yang dilihat pak tua. “Saya lulus sekolah Belakang Tangsi 1930. Selanjutnya
berlayar tujuh tahun mengelilingi Asia sampai ke Australia. Kemudian pulang
untuk berjuang. Saya tak mau bersenang-senang di atas kapal, sementara Bangsa
kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri kebangsaanlah yang memanggil
jiwa untuk ikut berjuang,” terang Anwar.
Anwar muda sudah terbiasa berperang. Dia hidup untuk
berpetualang. Melintasi medan. Bergerilya. Menunggu saat yang tepat menyerang
tentara Belanda. “Saya bekas tentara Sumatera Selatan. Komandan Kompi 3. Tak
terkira derita. Masa pergerakan benar-benar sulit. Desing peluru, bau mesiu,
mayat dan simbahan darah hal biasa. Pelepas penat dan kebanggaan kala itu,
sewaktu pulang ke barak, kita membawa topi serdadu, atau barang rampasan perang
lainnya,” ulas Anwar.
Lubang kecil bekas hantaman peluru yang menghiasi
kaki kananya, menjadi bukti keikutsertaan Anwar berjuang untuk bangsa. Karena
tembakan itu, kini dia berjalan pincang. “Kaki ini ditembus peluru di Jalan
Jakarta (Simpang Presiden-red). Waktu itu hari masih pagi. Perjanjian
Linggarjati baru saja disepakati. Tapi Aziz Chan menentang perjanjian itu.
Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi buta di tengah Kota. Hasilnya, ya
kaki ini kena tembak waktu mau pulang ke barak,” terang Anwar.
Bukan cuma ditembak. Anwar pernah merasa pengap
hidup di balik jeruji besi. “Empat tahun saya dibui. Tertangkap waktu
bergerilya, dari Padang dengan tujuan Payokumbuah yang waktu itu, tahun 1946
sedang bergejolak. Kala melewati Padangpanjang saya tertangkap Belanda. Waktu
itu, peluru habis sementara kaki saya masih sakit. Saya digiring, kaki
dirantai, diberi golongan besi, “ungkap Anwar mencoba merunut kembali
petualangan masa lalunya.
Di Panjangpanjang, Anwar diperlakukan tak senonoh
oleh Belanda. Hantaman bokong senjata, sayatan belati sampai dipaksa minum air
kencing. Namun sang Letnan tetap tegar. Kepalanya tegak, walau kucuran darah
dari pelipisnya tak berhenti. “Penjara dulu, bukan seperti sekarang. Dulu,
tangan diikat kawat berduri, kaki dirantai golongan besi. Saban hari kena
pukul. Bahkan, Untuk minum, mereka memberi air putih yang dicampur kencing,”
celoteh Anwar.
Jangan pertanyakan nsionalisme pada Anwar.
Kecintaannya pada Indonesia tak pernah surut. Terus berkobar. “Saya pernah
ditanya tentara Belanda. Apakah saya berjuang dan jadi tentara karena hanya
kedudukan dan jabatan semata? Saya jawab apa adanya? Berjuang untuk negara,
bukan kedudukan. Bila kelak mati di sini. Saya bangga, karena itu demi negara,”
ucap Anwar.
Anwar berjuang terus. Sampai dia sendiri lupa akan
keluarganya. Anwar pernah menikah dengan seorang wanita Belakang Olo. Tapi
hanya sebentar Anwar mengecap indah rumah tangga. Istrinya mati karena kolera
dan kekurangan asupan gizi, ikut juga tiada anak yang dikandungnya. Anwar baru
tahu istrinya tiada empat bulan kemudian, tepatnya saat dia pulang bergerilya.
Lepas dari itu, Indonesia akhirnya merdeka dengan
penuh. Namun tak begitu bagi Anwar. Tak ada penghargaan yang diterimanya.
Pengorbanan dan perjuangannya yang dikibarkannya seakan dilupakan. Anwar hilang
di tengah gegap gempita kemerdekaan. Ditambah kematian istri, seolah pembawa
petaka. Anwar kehilangan semangat hidup. Sempat terjerumus ke dunia hitam.
Anwar tobat. Tapi, hidup memang tak pernah berpihak pada Anwar. Semakin
terlunta-lunta. Hingga jalan sebagai pengemis jadi pilihan terakhirnya.
Tak ada tanda jasa. Tak ada lencana penghormatan
yang diterima Anwar. Bahkan gelar pahlawan veteran pun tak singgah. “Saya tak
butuh apapun. Dulu, saya berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya
berjuang untuk negara. Tak perlu tanda jasa apalagi uang. Biarlah hidup begini,
asal tak menganggu orang lain. Saya rela. Memang, ada kawan yang ikut
mengangkat senjata kebanyakan tenang menjalani masa tuanya. Saya tak suka itu,
bagi saya berjuang bukan untuk kemapanan masa tua,” jawab Anwar. Dia segera
berdiri, pergi minta segelas air kepada pedagang di depan Masjid AL Mubarah, Sawahan.
Memang, dulu Anwar pernah diberi sertifikat veteran.
Namun karena jalan hidupnya yang sering berpindah tempat “surat sakti” itu raib
entah kemana. Padahal, surat itu adalah sebagai landasan Anwar untuk menerima
haknya sebagai veteran. “Kalau tak salah Surat Bintang Gerilya. Tapi surat itu
sudah hilang. Kata orang surat itu adalah syarat untuk menerima tunjangan dari
pemerintah. Tapi tak apalah, saya juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan
kalau saya berjuang bukan untuk uang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta
tapi saya tak menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas
kapal. Sekarang saatnya susah,” kata Anwar.
Letnan Anwar. Sang pahlawan kini telah tiada di masa
pembangunan. Dia tak menerima apa-apa dari perjuangan. Sebatas penghormatan pun
tidak. Anwar terlupakan. Bangsa ini benar-benar sudah berdosa padanya.
Pahlawan yang Terlupakan, Menjadi Pengemis Hingga Akhir Hidupnya |
Tak hanya Letnan Anwar saja yang masih harus mengalami
pahitnya kehidupan di masa tuanya. Masih banyak lagi para pejuang yang
terlupakan hingga harus hidup sengsara di masa tuanya. Masa di mana seharusnya mereka
bisa hidup tenang merasakan manisnya buah perjuangan mereka saat masih muda,
namun yang mereka dapat hanya rasa bangga atas perjuangan mereka yang
menjadikan negeri ini menjadi negeri yang merdeka. Mereka hanya bisa melihat
generasi penerus mereka hidup bahagia dan merasakan hidup merdeka di tanah ini
meski mereka sendiri masih harus berjuang demi hidupnya sendiri tanpa ada yang
peduli pada nasib mereka.
Semoga surga balasan bagi para pahlawan-pahlawan yang kini telah gugur. Terima kasih pahlawanku. Tanpa jasa-jasamu kami tidak akan bisa hidup seperti sekarang ini. Maafkan kami yang telah berdosa karena tak mempedulikanmu semasa hidupmu bahkan meremehkanmu di saat ragamu tak lagi muda dan gagah. Semoga upayamu memerdekakan negeri ini tak akan pernah sia-sia. Kami banyak berhutang budi padamu
Sumber : wajibbaca.com
Posting Komentar